I decided to deactivated my Instagram accounts for undetermined time, uninstall Telegram, dan juga uninstall Twitter (nggak dinonaktifkan karena akun twitter bisa hilang permanen kalau kita non-aktifkan lebih dari 30 hari). Saya juga memutuskan untuk matiin last seen Linked In. Sayangnya, notifikasi online dan typing di Whatsapp nggak bisa dimatiin juga :(
So, here I am. Reunite with my lovely blog as a part of my therapeutic journaling hehehe
Belakangan ini, tingkat kecemasan saya nggak tau kenapa lagi tinggi-tingginya. Dan hasrat untuk checking on someone's (or more) activities online bener-bener lagi susah ditahan. Efeknya, kecemasan saya jadi makin tinggi dan membayangkan kembali menjadi manusia prik bener-bener bikin bergidik ngeri. Dulu saya udah kayak FBI, bisa-bisanya online-stalking orang sampe ke akar-akarnya.
Kecenderungan menjadi obsesif itu bener-bener bikin saya jadi overthingking parah dan hidup jadi nggak tenang. Setelah sadar bahwa kebiasaan merusak itu bisa "diobati" dengan tekad yang kuat dan juga dengan cara menjauhi sumber kecemasannya, saya pun bertekad untuk memperbaiki diri hehehe. Beberapa kali saya udah berusaha menantang diri saya untuk melakukan hal yang sama seperti sekarang dan so far berdampak positif banget.
Kadang, saya memang masih jadi orang menyebalkan dengan kekurangan-kekurangan saya. Tapi, saya juga bangga, karena saya sekarang bukanlah orang yang sama dengan saya di tahun lalu, bahkan mungkin bukan orang yang sama dengan saya enam bulan yang lalu. Saya berusaha untuk lebih menghargai dan mencintai diri sendiri, dengan cara-cara yang membuat saya lebih tenang dan tanpa melukai orang lain.
Detox ini juga bagian dari saya untuk melatih mengambil kontrol terhadap aktifitas yang saya lakukan. Selama ini, saya merasa hidup saya sering tidak terkontrol. Keputusan, kegiatan, dll, banyak dipengaruhi oleh orang lain dan juga dilakukan untuk orang lain, ntah karena sebelumnya saya punya tanggung jawab yang besar untuk diri sendiri dan orang lain, atau karena saya ngerasa bahwa dulu saya ini people pleaser banget sih. Saya ngerasa dulu nggak punya boundaries, dan saya takut banget orang-orang disekitar saya pergi, lalu saya akan merasakan kesepian.
Sekarang, saya berusaha menanamkan kepercayaan bahwa kebahagiaan itu datangnya dari dalam kita sendiri. Berfokus pada hal-hal yang bisa kontrol dan berusaha untuk nggak memusingkan hal-hal di luar kontrol kita (jujur pada awalnya untuk meresapi belief ini susahnya minta ampuuun, dan sampai sekarang pun saya masih suka keluar jalur). Misalnya, apa yang orang lakukan terhadap kita, baik atau buruk, adalah sesuatu yang nggak bisa kita kontrol, tapi bagaimana kita menanggapi prilaku orang terhadap kita, adalah sesuatu yang bisa kita kontrol.
Apa yang orang bicarakan tentang kita, baik atau buruk, adalah sesautu yang nggak bisa kita kontrol, tapi apa yang kita bicarakan tentang orang lain, adalah sesuatu yang bisa kita kontrol. Perasaan orang lain ke kita juga bukanlah hal yang bisa kita kontrol, tapi perasaan kita ke orang lain adalah hal yang bisa kita kontrol.
Jadi, semuanya adalah tentang bagaimana kita menanggapi apa yang terjadi pada kita. Saya masih inget banget rasanya saat saya merasa dunia ini nggak berpihak sama sekali sama saya. Capek, nggak punya uang, nggak punya semangat hidup, ngerasa nggak punya teman, keluarga, dan nggak punya orang yang bisa saya andalkan. Waktu itu satu-satunya jalan keluar yang terpikir adalah dengan cara take my life away. Dan perasaan-perasaan negatif itu bener-bener nggak enak banget.
Jadi detox ini sekaligus melatih self-control saya, untuk berusaha nggak memiliki keterikatan berlebihan terhadap seseorang maupun prilaku seseorang, baik keterikatan terhadap hal yang sifatnya positif (misalnya support, kata-kata manis) maupun keterikatan yang negatif (rasa takut ditinggal, kebutuhan untuk divalidasi) dll. Karena attachment akan menghasilkan ekspektasi, dan ekspektasi terkadang menghasilkan kekecewaan. Bukan berarti saya berusaha bakalan jadi orang yang nggak bisa diandalkan untuk orang-orang terdekat saya. Orang-orang terdekat tentunya masih bisa mengandalkan saya, dan saya juga tentunya masih membutuhkan mereka di hidup saya dan juga butuh someone to rely on. Tapi, bagaimana saya mengontrol keterikatan yang berlebihan yang saat ini sedang saya kontrol agar ekspektasi saya nggak akan membuat saya terluka.